WELCOME TO MY BLOG

Minggu, 03 Januari 2010

Liping, miniatur unik kehidupan manusia sehari-hari


SEORANG seniman di Solo, Jawa Tengah, berkreasi membuat kerajinan unik dari bahan kayu. Kerajinan ini berbentuk miniatur aktivitas warga sehari-hari yang disebut liping. Salah satu kreasi Bejo Wage, warga Jalan Kencur, Tenggosari Laweyan, Solo adalah papan permainan catur.
Membawa bendera Jopa-japu yang merupakan rumah seni tempatnya bernaung, Kreasi liping cukup unik karena seluruh bidak catur berupa miniatur pasukan perang. Pion berupa miniatur dari prajurit kerajaan yang terdiri dari pasukan panah dan pasukan anti huru-hara, lengkap dengan pakaian keprajuritan.
Demikian juga dengan menteri, pasukan berkuda, benteng, patih dan raja atau ratu. Bahan dasar miniatur unik ini adalah kayu pinus. Untuk membuat karya seperti ini memang tidak hanya dibutuhkan keterampilan tapi juga ketelitian, sebab ukuran miniatur tergolong kecil sehingga harus benar-benar konsentrasi.
Selain miniatur bidak catur, karya lain yang juga mengagumkan adalah miniatur pagelaran wayang kulit. Bejo menyajikan miniatur ini secara lengkap, mulai dalang, waranggana serta para penabuh gamelan, seperti gong, bonang, pemain rebab, suling dan gambang.
Menurut Bejo, kreasinya ini disebut kerajinan liping, yang merupakan pelesetan dari kata living. Sebab semua karyanya bercerita tentang kehidupan sehari-hari masyarakat tradisional, misalnya petani membajak sawah, mengembala bebek, orang menimba air disumur atau orang yang sedang kerokan.
Bejo mengaku usaha kerajinan ini dirintisnya sejak tahun 2002, namun baru berkembang dalam beberapa tahun terakhir. Selain Solo, kerajinannya dipasarkan ke Yogyakarta, Semarang, Jakarta dan Bali dengan harga dari mulai 25 ribu rupiah hingga 2 juta rupiah tergantung tingkat kerumitannya.

Jopa Japu
Jopa Japu bergerak di bidang handicraft dan seni dalam bentuk miniatur kehidupan, yang secara spesifik berupa miniatur aktivitas yang menggambarkan keseharian masyarakat tradisional Jawa, misalnya petani, pengayuh becak, dsb. Berdiri pada 1 Oktober 2002 dengan lokasi outlet adalah di Jl Wijilan (depan Gudeg Yu Djum).
Ilham atau inspirasi pendirian Jopa Japu adalah berasal dari keprihatinan atas kondisi generasi muda saat ini yang mulai merasa asing dengan budaya-budaya Jawa, sehingga Jopa Japu ingin melestarikannya dalam betuk miniatur kegiatan tradisional masyarakat Jawa (petani, mendorong gerobak, dsb).
Media yang digunakan adalah kayu. Teknik yang digunakan adalah dengan menggunakan gergaji. Ada pula yang kemudian dikombinasikan dengan tanah liat (misalnya untuk membuat patung). Cara pembuatannya secara umum adalah dengan menggergaji pola dari bagian-bagian tertentu (misalnya pola tangan, kaki, kepala, dsb), kemudian dirapikan dengan menggunakan cutter, setelah itu diwarnai dengan menggunakan cat dan akhirnya bagian-bagian tersebut disatukan dengan lem.
Setelah seluruh bagian disatukan dilakukan penyusunan tema, ingin dibuat seperti apa. Seni yang dipakai adalah seni liping, yang merupakan plesetan dari bahasa Inggris (living) yang berarti kehidupan.
Latar belakang dari personil Jopa Japu justru tidak memiliki pendidikan seni. Mereka belajar secara otodidak. Jopa Japu sendiri terdiri dari 7 orang dan modalnya merupakan gabungan dari ketujuh orang ini dan secara bergantian.
Peluang bisnis dari Jopa Japu adalah merupakan UKM yang tidak menggunakan modal besar untuk memulainya dan ide awalnya muncul dari sebuah kreativitas. Market dari seni liping ini adalah niche market atau dengan kata lain segmentasi yang sangat khusus. Target yang dituju adalah high class, pecinta traveling misalnya ke Jogja, yang merupakan pusat seni dan kerajinan.
Pelanggan Jopa Japu adalah turis dalam dan luar negeri, seniman, orang yang ingin memajang sesuatu yang unik di kantornya,dsb. Barang yang diproduksi sangat customized dengan ide bisa dari customer untuk membuat seperti apa atau juga dari Jopa Japu, sehingga ide itu mengalir terus. Dengan demikian product life cycle–nya bisa dikatakan sangat tinggi. Kelebihan dari Jopa Japu sendiri adalah konsumen bisa memesan dengan permintaan agar tidak direproduksi lagi untuk konsumen lain.
Produksi Jopa Japu sendiri sekitar 2000 miniatur per bulan. Buyer tetap dengan skala permintaan yang tinggi tidak ada (belum bisa melayani) karena pengerjaannya yang handmade dengan jumlah personil yang terbatas.
Strategi lokasi dari Jopa Japu yang terletak di Jl. Wijilan bisa dikatakan tepat untuk bisa menjangkau segmen yang dituju. Outlet dengan luas bangunan 3×3 meter ini bisa dikatakan memenuhi lokasi strategis yang terletak di tengah kota. Umumnya turis pasti berkunjung ke daerah tengah kota.
Turis yang datang ke Jogja biasanya berwisata kuliner untuk mencari makanan khas Jogja, misalnya gudeg. Pusat gudeg berada di daerah Wijilan. Lokasi Jopa Japu sendiri terletak di depan penjual gudeg terkenal (Yu Djum) yang menjadi referensi orang ketika ingin makan gudeg. Outlet Jopa Japu yang berwarna kuning (warna yang kontras dibanding sekitarnya) dapat menarik perhatian pengunjung untuk setidaknya berkunjung dan mengetahui apa sebenarnya Jopa Japu, ketika rasa tertarik sudah muncul maka bisa membangkitkan keinginan untuk memesan miniatur kehidupan di Jopa Japu.
Jopa Japu sendiri hanya mendirikan satu outlet untuk sementara ini dan tidak menutup kemungkinan untuk membuka cabang di daerah lain yang dianggap cocok dan tepat untuk target segmennya.
Berbicara tentang marketing tidak lepas dari STP (Segmenting, Targeting dan Positioning). Penentuan segmen yang jelas akan membantu untuk diterimanya sebuah produk. Segmen untuk Jopa Japu adalah untuk turis diluar wilayah Jogja secara geografis, kalangan menengah atas dengan usia tertentu secara demografis, dan dengan lifestyle pecinta seni secara psikografis.
Karena sifatnya adalah barang seni yang bernilai tinggi maka produk Jopa Japu sendiri cocok untuk segmen menengah atas yang secara ekonomi sudah mapan. Proses segmenting ini akan tepat jika dilakukan marketing research dan terus dilakukan secara berkala untuk mengantisispasi apabila ada perubahan selera pasar.
Sifat yang unik dengan niche market dari Jopa Japu, bisa dikatakan Jopa Japu tidak memiliki pesaing. Namun yang perlu disadari adalah seni ini bersifat substitusi dengan seni pahat atau seni ukir, sehingga bisa membuat konsumen membandingkan satu dengan yang lain. Apabila tidak ditunjang dengan marketing yang baik dan tepat bisa membuat Jopa Japu ini kalah saing dengan seni lainnya yang bersifat substitusi.
Peniruan atas produk Jopa Japu pernah terjadi tetapi dari segi kualitas dengan feel dari produk tiruan tersebut jauh berbeda dengan produk Jopa Japu. Dipicu oleh hal ini, maka kedepannya Jopa Japu akan memproteksi produknya dengan menggunakan hak paten.
Peniruan produk ini bisa dikatakan sebagai kompetitor dengan bermunculannya follower dan membuat produk Jopa Japu bisa berkembang. Konsumen akan membandingkan mana yang lebih berkualitas. Artinya sebenarnya Jopa Japu tidak perlu khawatir akan penetapan harga yang dilakukan.
Pricing strategy sebenarnya terbentuk oleh adanya supply and demand dan harga umumnya berbanding lurus dengan kualitas. Dan karena produknya adalah barang yang benilai seni yang ditujukan kepada kalangan menengah atas yang umumnya tidak price sensitive.
Hasil produksi yang bisa dianggap istimewa atau “wah” dari Jopa Japu adalah miniatur wayang kulit dan catur. Keduanya sudah mempunyai prestasi yaitu untuk miniatur catur mendapat Juara I Handicraft Nasional (2005) dan miniatur wayang mendapat juara yang sama pada tahun 2006. Rencana ke depan adalah untuk mendapatkan Rekor MURI berupa miniatur Malioboro (pada saat 1900-1930) dan terobosan produk yang akan diproduksi dalam waktu dekat adalah membuat miniatur Borobudur dengan ukuran besar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar