WELCOME TO MY BLOG

Minggu, 03 Januari 2010

ANTARA KELAPARAN DAN PERANG SAUDARA


Perubahan iklim telah lama diprediksi memicu konflik. Namun, perhitungan secara serius dan kuantitatif belum pernah dibuat, hingga sepekan lalu ketika sejumlah ilmuwan dari Amerika Serikat menyatakan, perang saudara di Afrika akan meningkat 55 persen pada tahun 2030.

Pada saat itu, sesuai pemodelan iklim, suhu rata-rata di benua Afrika diperkirakan meningkat sedikitnya satu derajat Celsius. Kenaikan yang tidak bisa dibilang kecil karena berdampak pada banyak hal.

Itulah kali pertama penelitian tentang perang-perang saudara di sub-Sahara Afrika dikaitkan dengan curah hujan dan catatan suhu di seluruh benua Afrika. Hasilnya, tahun 1980-2002, perang saudara yang membunuh lebih dari 1.000 jiwa ternyata terkait dengan suhu panas di atas rata-rata tahunan.

Dengan kata lain, kenaikan suhu sangat mungkin meningkatkan potensi konflik hingga 50 persen, dan oangan menjadi alasan mendasar perang itu. “Hasil studi menunjukkan bahwa hasil panen di Afrika sangat sensitif terhadap perubahan suhu, bahkan kurang dari setengah derajat Celsius saja,” kata pimpinan penelitian Marshall Burke, lulusan dari Departemen Pertanian dan Ekonomi Sumber Daya Universitas Berkeley, California, seperti dikutip ABC.

Kajian keterkaitan perang sipil dengan perubahan iklim itu dimuat pada jurnal Proceedings of the National Academy of Sciences (PNAS), 23 Nopember 2009 lalu. Ketahanan pangan memang menjadi sorotan global, yang mengancam banyak negara di beberapa benua, karena perubahan iklim. Namun, kondisi itu menjadi nyata di Afrika, yang saat ini saja sepertiga dari penduduknya tinggal di kawasan yang cenderung kering.

Data tahun 2006, sebanyak 200 juta jiwa penduduk Afrika terpapar kekeringan setiap tahun. Dampak perubahan iklim yang memperpanjang musim kering dan sebaliknya memperpendek musim hujan menempatkan mereka dalam kondisi sulit dengan tingkat kelaparan tinggi. Ini akan terus meningkat.

Secara pelan tapi pasti, keanekaragaman hayati Afrika juga hilang. Selama periode 1980-1995 jumlah spesies tanaman punah di Afrika bagian selatan naik dari 39 menjadi 58 spesies. Sementara, lebih dari 700 hewan bertulang belakang (vertebrata) dan 1.000 spesies pohon terancam punah. Data akan tambah panjang jika dilakukan penelitian mendetail.

Fakta itu, secara telak kian memukul penduduk Afrika, yang sebagian besar bergantung pada sumber daya alam, termasuk pangan dan obat-obatan.

Pada saat bersamaan, hasil kajian panel Ahli Antarnegara tentang Perubahan Iklim menyebutkan, Afrika salah satu benua dengan kemampuan adaptasi perubahan iklim rendah. Kondisi kontras yang butuh campur tangan global.

Mogok berunding

Kelompok negara Afrika sadar betul dampak perubahan iklim yang mengancam warga mereka. Untuk itu, mereka satu suara menghadapi Konferensi Perubahan Iklim di Kopenhagen, Denmark, 7 – 18 Desember 2009.

Realitas dan potensi ancaman mematikan hanya mampu mereka atasi dengan bantuan global. Mereka pun berjuang bersama dalam proses negosiasi iklim. Bersama kelompok negara lain, delegasi Afrika menyatakan mogok berunding (walkout) pada negosiasi iklim di Barcelona, awal Nopember 2009. Itu sebagai bentuk protes terhadap sikap delegasi negara maju yang wajib menurunkan emisinya tapi enggan berkomitmen.

“Afrika melihat kelompok lain tidak cukup serius bernegosiasi, tidak cukup mendesak,” kata Kabeya Tshikukuku dari Republik Demokratik Kongo. Afrika dengan 50 negara anggota bersikap : negara maju harus menurunkan emisi setidaknya 40 persen dari level 1990 pada tahun 2020.

Angka ini merupakan target yang diyakini para ilmuwan akan menghindarkan dunia dari petaka dampak perubahan iklim. “Banyak manusia kesulitan berat ketika mereka yang secara historis semestinya bertanggung jawab, tetapi tidak mengambil tindakan,” kata Kamel Djemouai dari Algeria. Suara delegasi Afrika bulat untuk mendapat bantuan pendanaan global dalam jumlah besar – untuk mitigasi dan adaptasi, serta transfer teknologi.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar