WELCOME TO MY BLOG

Sabtu, 02 Januari 2010

Korupsi dan Kekuasaan

KORUPSI dan kekuasaan ibarat dua sisi mata uang. Korupsi selalu mengiringi perjalanan kekuasaan dan sebaliknya, kekuasaan merupakan pintu masuk bagi tindak korupsi.

Itulah hakekat pernyataan Lord Acton, guru besar sejarah modern Universitas Cambridge Inggris yang hidup di abad 19.
Dengan adagiumnya yang terkenal Power tends to corrupt, and absolute power corrupt absolutely (kekuasaan itu cenderung korup, dan kekuasaan yang absolut cenderung korup secara absolut).

Ada postulat mengatakan bahwa korupsi mengikuti watak kekuasaan. Jika kekuasaan berwatak sentralistis, korupsi pun mengikutinya berwatak sentralistis. Makin tersentral kekuasaan, makin hebat pula korupsi di pusat kekuasaan.

Sebaliknya, jika yang terjadi adalah desentralisasi atau otonomi, maka korupsi pun mengikutinya sejajar dengan otonomi, yaitu berpindah dari pusat kekuasaan ke banyak pusat kekuasaan di daerah.

Bisa dibayangkan jika terjadi otonomi yang seluas-luasnya, korupsi pun akan terjadi seluas-luasnya. Otonomi daerah juga dapat menimbulkan banyak masalah, selain mengurangi efisiensi, ternyata juga menyuburkan korupsi. Seakan-akan antara pusat dan daerah berlomba melakukan korupsi. Sedemikian kencangnya perlombaan itu hingga tidak jelas lagi mana yang lebih hebat dan ‘berprestasi’ dalam melakukan korupsi.

Jika era Orde Baru umumnya yang melakukan korupsi adalah jajaran eksekutif, sekarang sudah melanda jajaran legislatif. Bahkan ada istilah korupsi berjamaah atau korupsi secara gotong royong. Keduanya adu cepat melalap uang negara dan mengisap uang rakyat.

Korupsi sebagai virus ganas rupanya mendapatkan medium penyebaran yang efektif melalui otonomi daerah. Hal ini jelas mengancam masa depan negeri ini.

Kajian political and economic risk consultancy mengisyaratkan bahwa faktor yang paling membahayakan masa depan pembangunan di Indonesia dan melebihi gerakan militer atau transisi politik yang kacau adalah korupsi!

Makna Korupsi
Dari beragam definisi, korupsi pada dasarnya adalah perilaku yang menyimpang dari aturan etis formal, menyangkut tindakan seseorang dalam posisi otoritas publik yang disebabkan oleh motif pertimbangan pribadi, seperti kekayaan, kekuasaan dan status.

Korupsi juga sering dimengerti sebagai penyalahgunaan kekuasaan dan kepercayaan untuk keuntungan pribadi. Namun korupsi juga bisa dimengerti sebagai perilaku tidak mematuhi prinsip ‘mempertahankan jarak’. Artinya dalam pengambilan kebijakan baik di sektor swasta atau oleh pejabat publik, hubungan pribadi atau keluarga tidak memainkan peranan.

Sekali prinsip mempertahankan jarak itu dilanggar dan keputusan dibuat berdasarkan hubungan pribadi atau keluarga, maka korupsi akan timbul. Contohnya konflik kepentingan dan nepotisme. Prinsip mempertahankan jarak itu adalah landasan bagi organisasi apa pun untuk mencapai efisiensi.

Gambaran buram tentang kekuasaan dikarenakan kita sering merujuk praktik kekuasaan yang digenggam oleh politisi busuk. Akan tetapi, adagium ‘kekuasaan itu cenderung korup’ sebenarnya bisa ditepis ketika hadir kekuasaan yang amanah, adil dan demokratis serta memiliki visi dan komitmen tentang clean government dan good governance.

Kepemimpinan yang amanah adalah kepemimpinan yang mengedepankan keteladanan, transparansi dan akuntabilitas dalam memegang kekuasaan.

Kepemimpinan yang adil adalah kepemimpinan yang mengedepankan supremasi hukum dan memberlakukan hukum bagi semua pihak atas dasar rasa keadilan masyarakat tanpa sikap diskriminatif.

Kepemimpinan yang demokratis adalah kepemimpinan yang partisipatif dan dalam konstelasi checks and balances antarunit suprastruktur politik maupun infrastruktur politik.

Di sinilah urgensinya kita harus memilih pemimpin yang memenuhi kriteria itu. Tanpa kepemimpinan yang kredibel, kapabel dan akseptabel, korupsi akan sulit dibasmi.

Bagaimana mungkin kita menyapu lantai dengan sapu yang kotor. Ketidakberdayaan hukum di hadapan orang kuat, ditambah minimnya komitmen dari elite pemerintahan menjadi faktor penyebab mengapa KKN masih tumbuh subur di Indonesia.

Untuk memilih pemimpin, kini telah menemukan kembali momentumnya melalui pemilu dan pilpres. Dalam perspektif demokrasi, pemilu memiliki dua fungsi pokok, pertama sebagai sarana memperbarui dan memperkokoh legitimasi politik penguasa yang sedang berjalan. Hal itu terjadi jika pemerintah dan partai yang berkuasa aspiratif bagi kepentingan rakyat, melaksanakan agenda reformasi, menegakkan keadilan dan mewujudkan kesejahteraan rakyat.

Kedua, sebagai sarana mendelegilimasi pemerintahan lama dan membentuk pemerintahan baru. Jika pemerintah dan partai yang berkuasa tidak aspiratif, mengabaikan amanah reformasi, pemilu menjadi momentum untuk melakukan suksesi kepemimpinan nasional, baik pada level eksekutif maupun legislatif dari pusat hingga daerah.

Para pemilih akan ‘mengeksekusi’ mereka di bilik suara dan mengalihkan legitimasinya pada pemimpin baru dan partai alternatif yang aspiratif dengan kepentingan mereka.

Persoalannya, apakah para pemilih memiliki tingkat budaya politik yang tinggi dan cukup arif untuk memilih pemimpin yang amanah, adil dan demokratis? Kita tunggu saja hasil pemilu dan pilpres yang akan datang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar