WELCOME TO MY BLOG

Jumat, 27 November 2009

idul adha

Ibu-ibu dan Anak-anak Terinjak-injak di Mabes Polri

Jumat, 27 November 2009 | 14:30 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com — Pembagian daging kurban memperingati Hari Raya Idul Adha 1430 H di Lapangan Bhayangkara Mabes Polri, Jumat (27/11), berlangsung ricuh. Ribuan orang berdesakan dan saling dorong di depan pagar selama menunggu pembagian daging dimulai. Sebagian warga telah datang sejak pagi.

Melihat ribuan orang mulai berdesakan di luar pagar, panitia kemudian memutuskan membuka gerbang meskipun pemotongan 24 sapi dan lima kambing sumbangan pejabat Polri belum selesai.

Ketika pagar dibuka, kecelakaan terjadi. Belasan ibu-ibu dan anak-anak yang berada di barisan terdepan terjatuh akibat dorongan dari barisan belakang. Akibatnya, mereka terinjak-injak oleh warga di belakangnya. Beberapa orang terluka di bagian kaki dan tangan.

Korban luka ringan langsung ditangani petugas medis yang berjaga dengan satu mobil ambulans di dalam lapangan. Kini, ribuan warga dikumpulkan di lapangan menunggu pemotongan hewan selesai.


Read More..

Batalkan Usulan Kenaikan Gaji

Selasa, 27 Oktober 2009 | 03:33 WIB

Jakarta, Kompas - Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran mendesak pembatalan rencana kenaikan gaji menteri. Alasannya, kenaikan gaji menteri akan membebani Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2010.

Sekjen Fitra Yuna Farhan, Senin (26/10), mengatakan, menteri sudah menerima sejumlah fasilitas yang ditanggung negara. Dia menyebutkan fasilitas mobil dinas baru yang harganya bisa mencapai Rp 350 juta dan dana taktis operasional sebesar Rp 150 juta. ”Fasilitas itu belum ditambah dengan rumah dinas, dana pensiun, pelayanan VVIP, yang semuanya sudah lebih dari cukup bagi para menteri,” katanya.

Mengenai alasan gaji yang lebih kecil dari direktur BUMN, kata Yuna, tidak bisa diterima. Direktur BUMN adalah jabatan profesional yang harus berkontribusi pada pendapatan negara, sedangkan menteri adalah jabatan politik yang berorientasi pada pengabdian melayani rakyat. ”Jabatan menteri bukan untuk mencari uang. Dari hasil LHKPN (Laporan Harta dan Kekayaan Pejabat Negara), kebanyakan para menteri sudah memiliki kekayaan miliaran,” ujarnya.

Berbeda

Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Marzuki Alie berbeda pandangan dengan Wakil Ketua DPR Pramono Anung mengenai rencana pemerintah menaikkan gaji pejabat negara. Marzuki mendukung, sedangkan Pramono menolak.

”Ekonomi tumbuh, inflasi jalan terus, masak enggak boleh naik-naik. Bagaimana, sih?” ucap Marzuki yang juga Sekjen Partai Demokrat saat ditanya pers di Gedung DPR, Senin.

Sedangkan Pramono yang juga Sekjen PDI-P menilai rencana itu justru tidak pantas dan mengusik rasa keadilan masyarakat. ”Bekerja saja belum sudah ada polemik kenaikan gaji. Seyogianya menunjukkan dulu kinerja, baru dilihat pantas atau tidak kenaikan gaji,” ujarnya.

Marzuki berpandangan, kenaikan gaji menteri pantas karena sudah lima tahun ini tidak ada kenaikan. Pekerjaan menteri juga berat dan dia pun membandingkannya dengan gaji pegawai negeri. ”Pegawai negeri kalau lima tahun enggak naik-naik, marah enggak?” ucapnya.

Sementara itu, Pramono menilai gaji yang diberikan kepada menteri saat ini sudah lebih dari cukup karena memiliki dana taktis yang sedemikian besar. ”Mereka punya mobil, punya rumah, punya uang untuk pakaian, bahkan mau makan apa saja pasti ada dananya,” ujar Pramono.

Kalau para menteri merasa gaji direktur BUMN lebih besar dari yang mereka dapatkan, sebaiknya menteri bersangkutan tukar tempat saja.

Pramono juga mengingatkan, kondisi perekonomian Indonesia saat ini belum pulih. Tantangan ekonomi satu tahun ke depan juga tidak ringan dilihat dari harga minyak dunia yang terus naik 15-18 dollar AS per barrel dari yang ditetapkan dalam asumsi APBN, yaitu 60-63 dollar AS per barrel. ”Kalau tahun depan sudah menembus angka psikologis seperti dulu, yaitu 80-90 dollar AS per barrel, rencana kenaikan ini akan jadi beban APBN,” kata Pramono mengingatkan.

PPP menolak

Partai Persatuan Pembangunan juga menolak rencana pemerintah menaikkan gaji pejabat negara. Wakil Ketua Umum DPP PPP Chozin Chumaidy menilai rencana itu melukai hati rakyat.

”Kenaikan gaji menteri hendaknya tidak dilakukan sekarang. Secara psikologis ’mencederai perasaan’ rakyat. Kabinet baru disusun, kerja dulu, tunjukkan dulu hasil kerjanya untuk rakyat,” ujarnya.

Pengajar Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Jakarta, Cecep Effendi, menilai rencana kenaikan gaji pejabat negara tidak etis dan kurang tepat dibicarakan pada awal masa jabatan. Kenaikan gaji bisa dikaji setelah melihat kinerja menteri dan kondisi perekonomian sudah mulai membaik.

”Ini merupakan budaya politik yang tidak baik. Tidak etis, baru dilantik sudah membicarakan kenaikan gaji,” katanya, Senin.

Cecep menambahkan, pembicaraan tentang kenaikan gaji itu menunjukkan para menteri, terutama dari partai politik, tidak memiliki kepekaan sosial. Sebab, saat ini masih banyak persoalan yang belum diselesaikan, seperti pembangunan pascabencana di Padang, Sumatera Barat, dan Tasikmalaya, Jawa Barat. Read More..

Kamis, 26 November 2009

Etika Dalam Akuntansi Sektor Publik: Kasus BULOG

Peralihan Menuju Perum

Selama lebih dari 30 tahun Bulog telah melaksanakan penugasan dari pemerintah untuk menangani bahan pangan pokok khususnya beras dalam rangka memperkuat ketahanan pangan nasional. Manajemen Bulog tidak banyak berubah dari waktu ke waktu, meskipun ada perbedaan tugas dan fungsi dalam berbagai periode. Dalam rangka melaksanakan tugas dan fungsinya, status hukum Bulog adalah sebagai Lembaga Pemerintah Non Departemen (LPND) berdasarkan Keppres RI No. 39 tahun 1978.

Namun, sejak krisis ekonomi yang melanda Indonesia pada tahun 1997 timbul tekanan yang sangat kuat agar peran pemerintah dipangkas secara drastis sehingga semua kepentingan nasional termasuk pangan harus diserahkan sepenuhnya kepada mekanisme pasar. Tekanan tersebut terutama mucul dari negara-negara maju pemberi pinjaman khususnya AS dan lembaga keuangan internasional seperti IMF dan World Bank.

Konsekuensi logis yang harus diterima dari tekanan tersebut adalah Bulog harus berubah secara total. Dorongan untuk melakukan perubahan datangnya tidak hanya dari luar negeri, namun juga dari dalam negeri.

Pertama , perubahan kebijakan pangan pemerintah dan pemangkasan tugas dan fungsi Bulog sehingga hanya diperbolehkan menangani komoditas beras, penghapusan monopoli impor seperti yang tertuang dalam beberapa Keppres dan SK Menperindag sejak tahun 1998. Keppres RI terakhir tentang Bulog, yakni Keppres RI No. 103 tahun 2001 menegaskan bahwa Bulog harus beralih status menjadi BUMN selambat-lambatnya Mei 2003.

Kedua , berlakunya beberapa UU baru, khususnya UU No. 5 Tahun 1999 tentang larangan praktek monopoli, dan UU No. 22 Tahun 2000 tentang Otonomi Daerah yang membatasi kewenangan Pemerintah Pusat dan dihapusnya instansi vertikal.

Ketiga , masyarakat luas menghendaki agar Bulog terbebas dari unsur-unsur yang bertentangan dengan tuntutan reformasi, bebas dari KKN dan bebas dari pengaruh partai politik tertentu, sehingga Bulog mampu menjadi lembaga yang efisien, efektif, transparan dan mampu melayani kepentingan publik secara memuaskan.

Keempat , perubahan ekonomi global yang mengarah pada liberalisasi pasar, khususnya dengan adanya WTO yang mengharuskan penghapusan non-tariff barrier seperti monopoli menjadi tariff barrier serta pembukaan pasar dalam negeri. Dalam LoI yang ditandatangani oleh pemerintah Indonesia dan IMF pada tahun 1998, secara khusus ditekankan perlunya perubahan status hukum Bulog agar menjadi lembaga yang lebih efisien, transparan dan akuntabel.

Sehubungan dengan adanya tuntutan untuk melakukan perubahan, Bulog telah melakukan berbagai kajian-kajian baik oleh intern Bulog maupun pihak ekstern.

Pertama , tim intern Bulog pada tahun 1998 telah mengkaji ulang peran Bulog sekarang dan perubahan lembaganya di masa mendatang. Hal ini dilanjutkan dengan kegiatan sarasehan pada bulan Januari 2000 yang melibatkan Bulog dan Dolog selindo dalam rangka menetapkan arahan untuk penyesuaian tugas dan fungsi yang kemudian disebut sebagai “Paradigma Baru Bulog”.

Kedua , kajian ahli dari Universitas Indonesia (UI) pada tahun 1999 yang menganalisa berbagai bentuk badan hukum yang dapat dipilih oleh Bulog, yakni LPND seperti sekarang, atau berubah menjadi Persero, Badan Hukum Milik Negara (BHMN), Perjan atau Perum. Hasil kajian tersebut menyarankan agar Bulog memilih Perum sebagai bentuk badan hukum untuk menjalankan dua fungsi bersamaan, yaitu fungsi publik dan komersial.

Ketiga , kajian auditor internasional Arthur Andersen pada tahun 1999 yang telah mengaudit tingkat efisiensi operasional Bulog. Secara khusus, Bulog disarankan agar menyempurnakan struktur organisasi, dan memperbaiki kebijakan internal, sistim, proses dan pengawasan sehingga dapat memperbaiki efisiensi dan memperkecil terjadinya KKN di masa mendatang.

Keempat , kajian bersama dengan Bernas Malaysia pada tahun 2000 untuk melihat berbagai perubahan yang dilakukan oleh Malaysia dan merancang kemungkinan penerapannya di Indonesia.

Kelima , kajian konsultan internasional Price Waterhouse Coopers (PWC) pada tahun 2001 yang telah menyusun perencanaan korporasi termasuk perumusan visi dan misi serta strategi Bulog, menganalisa core business dan tahapan transformasi lembaga Bulog untuk berubah menjadi lembaga Perum.

Keenam , dukungan politik yang cukup kuat dari anggota DPR RI, khususnya Komisi III dalam berbagai hearing antara Bulog dengan Komisi III DPR RI selama periode 2000-2002.

Berdasarkan hasil kajian, ketentuan dan dukungan politik DPR RI, disimpulkan bahwa status hukum yang paling sesuai bagi Bulog adalah Perum. Dengan bentuk Perum, Bulog tetap dapat melaksanakan tugas publik yang dibebankan oleh pemerintah terutama dalam pengamanan harga dasar pembelian gabah, pendistribusian beras untuk masyarakat miskin yang rawan pangan, pemupukan stok nasional untuk berbagai keperluan publik menghadapi keadaan darurat dan kepentingan publik lainnya dalam upaya mengendalikan gejolak harga.

Disamping itu, Bulog dapat memberikan kontribusi operasionalnya kepada masyarakat sebagai salah satu pelaku ekonomi dengan melaksanakan fungsi usaha yang tidak bertentangan dengan hukum dan kaidah transparansi. Dengan kondisi ini gerak lembaga Bulog akan lebih fleksibel dan hasil dari aktivitas usahanya sebagian dapat digunakan untuk mendukung tugas publik, mengingat semakin terbatasnya dana pemerintah di masa mendatang. Dengan kondisi tersebut diharapkan perubahan status Bulog menjadi Perum dapat lebih menambah manfaat kepada masyarakat luas.

Dan pada akhirnya era baru itu datang juga, sejak tanggal 20 Januari 2003 LPND Bulog secara resmi berubah menjadi Perum Bulog berdasarkan Peraturan Pemerintah RI No. 7 Tahun 2003 yang kemudian direvisi menjadi PP RI No. 61 Tahun 2003. Peluncuran Perum Bulog ini dilakukan di Gedung Arsip Nasional Jakarta pada tanggal 10 Mei 2003.

KASUS-KASUS BULOG

Kronologis Kasus Tukar Guling (Ruislag) Bulog – PT Goro Batara Sakti (GBS)

Kronologis Kasus Tukar Guling (Ruislag) Bulog – PT Goro Batara Sakti (GBS)

17 Februari 1995
Satu hari setelah Beddu Amang diangkat menjadi Kepala Bulog dibuat memorandum of understanding (MoU) antara Bulog dengan PT GBS yang diwakili Tommy Soeharto dan Ricardo Gelael untuk mengadakan tukar-menukar lahan milik Bulog berupa sebidang tanah, gedung, kantor, dan gudang yang terletak di Kelapa Gading, Jakarta Utara, seluas sekitar 50 hektar yang dikenal sebagai Kompleks Pergudangan Bulog Jakarta Utara. Sebagai lahan pengganti, Tommy menyediakan tanah seluas sekitar 125 hektar di kawasan Marunda, Jakarta Utara, yang kemudian diketahui berupa tanah rawa-rawa.

Kedudukan Tommy Soeharto dalam perusahaan tersebut adalah sebagai Komisaris Utama (sebagai pemegang saham 80 persen), Ricardo Gelael (Dirut, dengan saham 20 persen).

23 Nopember 1998
Tommy Soeharto dipanggil ke Kejaksaan berkaitan dengan kasus tukar guling ini. Dalam pemeriksaan itu, status Tommy belum sebagai tersangka, tapi saksi. Selain dia, yang dipanggi Kejaksaan adalah mantan Kabulog Beddu Amang dan rekanan Tommy di Goro, Ricardo Gelael. Namun, kedua orang itu belum bisa hadir di Kejaksaan. Sebab, Beddu saat ini masih berada di Arab Saudi untuk melakukan umroh. Sedangkan Ricardo masih berada di luar negeri.

Kasus ini terungkap ketika pada saat itu publik lantang menyuarakan tuntutan supaya kejaksaan mengusut dugaan korupsi oleh keluarga H.M. Soeharto sehingga Tommy Soeharto tergelincir kasus tukar guling ini.

19 Februari 1999
Sidang kasus ruislag PT Goro dan Bulog, terdakwa Beddu Amang, Tommy Soeharto dan Ricardo Gelael dengan kerugian negara Rp 95,6 miliar.

19 April 1999
PN Jakarta Selatan memvonis bebas Beddu Amang. Majelis hakim yang diketuai Syamsuddin AB dalam putusan selanya di PN Jaksel menetapkan dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Soehardjono SH tidak lengkap, penguraiannya tidak jelas dan disusun secara tidak cermat sehingga dengan sendirinya dakwaan itu dinyatakan batal demi hukum. Salah satu alasannya, kejaksaan tidak minta izin presiden ketika memeriksa Beddu-yang pada waktu itu kedudukannya sebagai anggota MPR-di Kejaksaan Agung. Atas putusan ini, Jaksa Penuntut Umum mengajukan kasasi ke Pengadilan Tinggi (PT) dan dikabulkan.

14 Oktober 1999
Majelis Hakim PN Jakarta Selatan memvonis bebas Tommy Soeharto dan Richardo Gelael dari segala dakwaan karena tidak ditemukan bukti-bukti kuat oleh pimpinan sidang di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Jaksa Penuntut Umum (JPU), Fachmi SH, mengajukan kasasi atas dibebaskannya Tommy dan Ricardo Gelael.

22 September 2000
Mahkamah Agung, Ketua Majelis: Hakim Agung Syafiuddin Kartasasmita, memvonis Tommy bersalah, wajib bayar ganti rugi Rp 30,6 miliar, denda Rp 10 juta, dan hukuman kurungan 18 bulan penjara.

3 November 2000
Pukul 21.55 WIB Ricardo Gelael masuk ke LP Cipinang.

4 November 2000
Jaksa Penuntut Umum, Fachmi SH, gagal mengeksekusi Tommy. Fachmi yang sejak pukul 17.30 mendatangi rumah Tommy di Jalan Yusuf Adiwinata, Jakarta Pusat, tak berhasil menemui terpidana dan meninggalkan rumah di belakang kediaman mantan Presiden Soeharto itu pukul 23.45 WIB.Kejaksaan memasukkan Tommy dalam Daftar Pencarian Orang (DPO), dengan demikian, Tommy Soeharto resmi menjadi buronan yang berwajib.
Kapolri Surojo Bimantoro mengatakan bahwa bukan hanya Polda Metro Jaya, tapi seluruh Polda se Indonesia untuk memasukkan ke dalam daftar pencarian orang,

8 Februari 2001
Mantan Kepala Badan Urusan Logistik (Bulog) Beddu Amang (64), diadili di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan. Persidangan ini merupakan kedua kalinya bagi Beddu Amang, setelah sidang pertama bulan April 1999.

26 Juli 2001
Hakim Agung Syafiuddin Kartasasmita tewas tertembak.

6 Agustus 2001
Menyusul penemuan 74 buah dinamit, dua pucuk senjata api laras panjang M-16, 5 senjata genggam otomatis beserta 11 magasin yang berisi peluru, 10 detonator, 13 telepon genggam yang siap dirakit dengan bom-bom itu, belasan granat manggis, 150 peluru, alat perakit bom, bom kertas yang akan meledak jika dibuka, jaket anti peluru, sarung tangan, topeng ninja, dan uang tunai senilai Rp 70 juta dan 126 lembar uang pecahan 100 dolar AS di rumah Jalan Alam Segar III No 23, Pondok Indah, Jakarta Selatan, Kapolda Metro Jaya, Inspektur Jenderal Sofjan Jacoeb, menyatakan Tommy Soeharto sebagai tersangka pembunuh Hakim Agung Syafiuddin Kartasasmita dan kasus peledakan bom di Jakarta.
Atas perintah Tommy, tiga tersangka yakni Ferri Ucom (41), Dedi Yusuf (34) dan Dody Arjito (44), sebelumnya melakukan survei sekitar kediaman para hakim agung berikut kendaraan yang mereka gunakan. Juga rute-rute yang biasa dilewati para hakim agung dan kebiasaan mereka sehari-hari dicatat secara rinci,” katanya.

Komplotan itu telah melakukan survei mendalam tentang hakim-hakim agung yang menjadi target pembunuhan. Mereka telah menggambar lokasi atau denah rumah para hakim agung, lalu juga meneliti secara seksama kapan dan bagaimana mereka ke luar rumah.

7 Agustus 2001
Polisi tangkap Mulawarman dan Noval Hadad, dua tersangka penembak Hakim Agung Syafiuddin Kartasasmita yang mengaku membunuh atas perintah Tommy Soeharto. Munawarman ditangkap di Jalan Fatmawati Jakarta Selatan sedangkan Noval Hadad di Kebon Nanas Gg. Ayub RT11/09 Bidara Cina Jatinegara Jakarta Timur.
Munawarman mengaku bertugas mengendarai sepeda motor, sedangkan Noval bertugas menembak korban. Tersangka mengatakan sebelum melakukan pembunuhan terhadap Hakim Agung tersebut mereka menginap di Hotel Patra Jasa, Jakarta Timur. Dan pada Kamis (26/7) pagi Tommy Soeharto mendatangi mereka untuk menyerahkan Rp 100 juta dan senjata api genggam.

1 Oktober 2001
MA mengabulkan permohonan PK Tommy Soeharto.

28 November 2001
Tommy Soeharto tertangkap di Jalan Maleo II No 9, Sektor IX, Bintaro Jaya.

16 Agustus 2002
Untuk kasus penembakan Syafiuddin, kepemilikan senjata api & amunisi dan sengaja melarikan diri Tommy diganjar dengan hukuman 15 tahun.

16 Januari 2004
Beddu Amang memulai hukumannya di LP Cipinang selama 4 tahun terkait dengan kasus Ruislag ini.

Juni 2005
Mahkamah Agung meringankan hukuman Tommy dari 15 tahun menjadi 10 tahun.

30 Oktober 2006
Setelah peninjauan kembali oleh Mahkamah Agung, ditambah dengan berbagai pengurangan hukuman (remisi), Tommy akhirnya hanya mendekam selama 4 tahun di penjara.

Tommy dibebaskan bersyarat dan diharuskan untuk mengikuti pengawasan dan pembinaan di Balai Pemasyarakatan (Bapas) Salemba hingga satu tahun setelah ia dibebaskan secara bersyarat.

22 Agustus 2007
Kejaksaan Agung selaku pengacara negara yang telah memperoleh surat kuasa khusus (SKK) dari Perum Bulog, mendaftarkan penggugatan terhadap PT Goro Batara Sakti, Hutomo Mandala Putra selaku Komisaris Utama PT GBS, Ricardo Gelael selaku Direktur Utama PT GBS, dan Beddu Amang selaku Kepala Bulog senilai Rp500 miliar ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan terkait kasus tukar guling antara Bulog dengan PT Goro Batara Sakti. Perkara tersebut didaftarkan ke PN Jakarta Selatan dengan nomor perkara 1228/Pdt.G/2007/ PN Jaksel.

Pemerintah menuntut ganti rugi materiil sebesar Rp 244,2 miliar, ganti rugi imateriil Rp 100 miliar, dan ditambah bunga atas ganti rugi Rp
206,5 miliar yang harus dibayar secara tanggung renteng.

Gugatan perdata yang diajukan Kejaksaan Agung atas kuasa dari Perum Bulog itu dialamatkan kepada empat pihak atas perbuatan melawan hukum dalam tukar guling antara Bulog dan PT GBS. Keempat pihak itu adalah PT GBS, Hutomo Mandala Putra (mantan Komisaris Utama PT GBS), Ricardo Gelael (Direktur Utama PT GBS), dan Bedu Amang (mantan Kepala Bulog)

Perjanjian itu dinilai merugikan Bulog sebesar Rp 15 miliar karena Bulog harus membatalkan perjanjian dengan PT Graha Mutu Pertiwi atau PT Graha Bhakti Abadi. Perjanjian itu kemudian diikuti tindakan GBS atas sepengetahuan Beddu, Tommy, dan Ricardo, untuk membongkar dan mengosongkan gudang Bulog di kawasan Kelapa Gading, Jakarta Utara, yang kemudian dijadikan kawasan perkulakan Goro Batara Sakti pada Januari 1996. Pembongkaran itu dinilai JPN telah merugikan Bulog sekitar Rp 23,5 miliar.

Surat gugatan yang dibacakan secara bergantian juga menyebutkan GBS telah melakukan pembongkaran terhadap 11 unit gudang milik Bulog dalam kurun waktu Februari 1996 sampai Oktober 1996, yang diduga merugikan Bulog sekitar Rp 7 miliar. GBS kemudian menggunakan satu unit gudang Bulog sebagai kantor. Perbuatan ini dinilai merugikan Bulog sebesar Rp 3,18 miliar.

Menurut JPN, barang hasil bongkaran itu kemudian dipindahkan ke gudang lain yang disewa GBS. Pemindahan itu menggunakan uang Bulog hingga mencapai Rp 6,2 miliar untuk membayar sewa gudang. Selain itu, GBS menjual barang hasil bongkaran, yang diperkirakan merugikan Bolug sekitar Rp 500 juta.

JPN mencatat, uang Bulog sebesar Rp 23 miliar digunakan untuk membayar tagihan di Bank Bukopin, karena hutang GBS kepada bank tersebut tidak pernah dibayar. Kemudian JPN juga menyatakan GBS telah menggunakan uang Bulog sebesar Rp 32,5 miliar untuk membeli tanah.
JPN menilai perbuatan GBS dan para petingginya itu telah merugikan negara, dalam hal ini Bulog, secara materil hingga Rp 244,2 miliar. Angka itu diperoleh setelah ditambah dengan kerugian Bulog karena kehilangan keuntungan sebesar 12 persen per tahun, selama sepuluh tahun. Selain itu, Bulog juga mengalami kerugian immateril yang diperkirakan mencapai Rp 100 miliar. Kerugian immateril berupa hilangnya kepercayaan masyarakat. Melalui JPN, Bulog juga menuntut pembayaran bunga menurut hukum sejumlah enam persen per tahun.

18 Februari 2008
Proses mediasi tidak berhasil dijalankan. Dalam petikan putusannya, ujar Ketua Tim Jaksa Pengacara Negara (JPN) Yoseph Suardi Sabda, MA memperoleh kesimpulan terdapat penyimpangan hukum dalam perkara tukar guling itu, yang dilakukan oleh Tommy (tergugat II) dan mantan Kepala Bulog Beddu Amang (tergugat IV), karena diantaranya disebabkan oleh status sosial yang melekat kepada Tommy.

Dia menambahkan, sebagai komisaris GBS Tommy terbukti telah melakukan tindakan yang melawan hukum terkait tukar guling itu. Menurutnya, hal tersebut sesuai pasal 1366 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Perdata (KUHAPer), yang menyatakan seseorang bukan saja bertanggung jawab atas perbuatan melawan hukum yang dilakukan secara sengaja, namun juga akibat kelalaian.

Selanjutnya, Yoseph bergantian dengan anggota JPN lainnya, juga membacakan keseluruhan kesimpulan akhir yang disusun oleh JPN, setebal 28 halaman.

Dalam kesimpulannya, JPN juga menguraikan kerugian-kerugian yang dialami Bulog akibat tukar guling tersebut. Diantaranya, hilangnya uang Bulog sebesar Rp23 miliar yang dijadikan jaminan utang tergugat I pada Bank Bukopin, hilangnya gudang Bulog yang dijadikan kantor Goro senilai lebih dari Rp3 miliar dan kerugian akibat tidak dapat dipakainya tanah Bulog seluas 8 hektar (karena tanah tersebut digunakan tergugat I) senilai lebih dari Rp23 miliar.

Dalam petitumnya (amar di bagian akhir kesimpulan), JPN mengajukan permohonan pada majelis hakim untuk memberikan amar putusan berupa menolak eksepsi para tergugat. Dalam gugatan konvensi, diantaranya memohon agar gugatan penggugat dikabulkan dan menghukum para tergugat secara tanggung renteng membayar ganti rugi sebesar Rp100 miliar.

28 Februari 2008
Tommy menuai kemenangan. Majelis hakim PN Jaksel yang diketuai Haswandi menyatakan, gugatan JPN kepada Tommy Cs tidak dapat dikabulkan. Justru, hakim mengabulkan gugatan Tommy Cs terhadap Bulog. Sehinga Bulog harus diwajibkan membayar Rp 5 miliar ke kubu Tommy. Bulog diwajibkan membayar Rp 5 miliar karena dianggap telah melakukan pencemaran nama baik Tommy yang memiliki kapasitas seorang pengusaha bereputasi. Persisnya dalam hal terjadi penyebaran informasi lewat media massa, Bulog berada dalam posisi sebagai narasumber. Uang sebesar Rp 5 miliar merupakan kerugian immateriil yang ditanggung Tommy terkait dengan pencemaran nama baik ini.

Berdasarkan bukti yang diajukan oleh audit akuntan independen “Jan, Ladiman & Rekan” yang berisi daftar pengeluaran dan penerimaan asset Bulog dalam tukar imbang antara Bulog dan PT GBS per tanggal 31 Agustus 2001 pengeluaran Bulog dalam proses ruislag Bulog-Goro sebesar Rp65,08 miliar, sedangkan penerimaannya Rp74, 5 miliar. Sehingga pada dasarnya Bulog diuntungkan 9,4 miliar. Selain itu, berdasarkan Surat Keterangan Kepala Bulog tertanggal 31 Maret 1999 B.195/II/03/1995 dan ditegaskan lagi dengan Surat Kepala Bulog B-244/iii/03/2004 terbit 10 Maret 2004 disebutkan pula bahwa Bulog mendapat keuntungan.

Kronologis Kasus Buloggate

Yayasan Bina Sejahtera Karyawan (Yanatera) Bulog merupakan sebuah yayasan yang didirikan untuk menyejahterakan karyawan Bulog ini kebobolan Rp 35 milyar. Didirikan berdasarkan akte notaris tanggal 17 Januari 1984 ini berisi dana ratusan milyar rupiah.

Menurut keterangan resmi Bulog pada tanggal 25 Mei 2000, duit Yanatera berasal dari sejumlah sumber. Misalnya harta asal yayasan (modal yang disisihkan dari kekayaan pendiri), iuran anggota, sumbangan-sumbangan yang diterima yayasan, dan pendapatan dari usaha-usaha yang sah.

Kasus Bulog meledak menjadi skandal besar setelah dana Yayasan Bina Sejahtera (Yanatera) Bulog Rp 35 miliar raib. Yang membuat heboh, sejumlah nama di seputar pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) ditengarai ikut terlibat.

Berikut kronologi kasus Bulog - Yanatera ini:

7 Januari 2000:
Sapuan bersama dua stafnya, Soleh Sofyan dan Mulyono Makmur, datang ke Istana. Mereka datang setelah sebelumnya Sapuan meminta bantuan Soewondo agar dipertemukan dengan Presiden Wahid untuk membicarakan dua hal. Pertama, mengklarifikasi soal pembubaran Bulog seperti tertera dalam salah satu risalah sidang kabinet. Kedua, soal keinginan Presiden menarik dana taktis Bulog untuk penyelesaian masalah Aceh.

Pertemuan berlangsung pukul 16.00. Menurut kesaksian Soleh, pertemuan ini dihadiri Presiden Wahid, Sapuan, dan Kepala Biro Protokol Istana Wahyu Muryadi. Saat itu, Presiden Wahid meminta separuh dari Rp 370 miliar dana taktis Bulog untuk penyelesaian masalah Aceh. Sapuan menyarankan agar Presiden mengeluarkan Keppres supaya pertanggungjawabannya menjadi jelas. Namun, melalui Soewondo, Presiden Wahid menolak. Permintaan itu lalu dilaporkan Sapuan ke Kepala Bulog saat itu, Jusuf Kalla.

9-11 Januari 2000:
Soewondo menghubungi Sapuan agar dicarikan pinjaman Rp 35 miliar untuk penyelesaian Aceh. Permintaan ini dilaporkan Sapuan ke Kalla. Kalla menolak dan minta dibuatkan surat resmi dari Presiden.

12 Januari 2000:
Surat perjanjian pengakuan utang dari Soewondo. (Menurut Farid Faqih dari Gowa, perjanjian ini sebenarnya dibuat tidak pada 12 Januari, tapi setelah kasus ini terbongkar).

13 Januari 2000:
Yanatera mengeluarkan dua lembar cek masing-masing senilai Rp 5 miliar.

20 Januari 2000:
Yanatera mengeluarkan dua lembar cek masing-masing senilai Rp 10 miliar dan Rp 15 miliar.

Ke Mana Dana Mengalir?
Nomor Cek Bukopin Nilai (Rp) Bank Tanggal Pencairan Dicairkan oleh
514425 5 miliar BCA Tomang 14 Januari 2000 Leo Purnomo (diduga pengelola AWAIR bersama Soewondo)
530601 5 miliar BCA Sudirman 24 Maret 2000 Siti Farika (lalu ditransfer ke BCA Semarang pada 27 Maret 2000)
530603 10 miliar Mandiri Pulomas 20 Januari 2000 Teti Sunarti (istri Soewondo)
530604 15 miliar Citibank Sudirman 20 Januari 2000 Suko Sudarso (Wakil Kepala Litbang PDI-P)

Sumber: Government Watch

20 Februari 2000:
Sapuan bertemu Penjabat Sekretaris Negara Bondan Gunawan di Sekretariat Negara. Bondan menanyakan kemungkinan penggunaan dana taktis Bulog oleh Setneg. Pertemuan itu juga membicarakan struktur kepemimpinan di Bulog, apakah perlu dipisah atau dirangkap menteri.

Februari 2000:
Sapuan dua kali bertemu dengan Jaksa Agung Marzuki Darusman. Pertemuan pertama di Hotel Mahakam, Blok M, Jakarta Selatan. Saat itu, Marzuki yang didamping Widjanarko, anggota Komisi III DPR, menanyakan mekanisme pemanfaatan dana taktis Bulog. Sapuan minta agar soal itu dikonsultasikan dengan pihak Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP). Pertemuan kedua pada malam hari di Hotel Regent. Ketika itu hadir Deputi Khusus BPKP Erwin Sofyan yang menyarankan dana itu dimasukkan ke APBN Pos Anggaran 16. Sehingga, dapat digunakan oleh Presiden setiap saat dibutuhkan.

24 Mei 2000:
Kapolri Jenderal Rusdihardjo dan Menteri Luar Negeri Alwi Shihab mengeluarkan pernyataan Soewondo sudah berada di luar negeri (Farid Faqih dari Gowa mengaku berhasil mengontak Soewondo per telepon Jumat, 19 Mei 2000. Soewondo ketika itu diketahui berada di Jakarta atau Bogor).

Kepala Bulog Rizal Ramli menghadiri dengar pendapat dengan Komisi III DPR soal skandal Bulog. Pada hari itu, Soewondo menandatangani pernyataan bersedia mengembalikan pinjaman Rp 35 miliar paling lambat akhir Juli 2000. Ia juga sekaligus membayar bunga pinjaman Rp 1,575 miliar melalui rekening Yanatera di Bukopin.

25 Mei 2000:
Kabulog Rizal Ramli akhirnya menonaktifkan sementara Sapuan sebagai Wakabulog. Penghentian itu terhitung sejak 24 Mei 2000, sambil menunggu penetapan resmi Presiden RI. “Hal-hal yang berkaitan dengan penipuan atau pelanggaran hukum, Kabulog telah menyampaikan kepada aparat terkait,” kata Kabulog kepada pers, di Jakarta, Kamis, usai mengadakan pertemuan dengan Pimpinan Komisi III DPR-RI.

Aparat Satuan Reserse Ekonomi Direktorat Reserse (Ditserse) Kepolisian Daerah (Polda) Metro Jaya menangkap Sapuan di ruang kantornya di Gedung Bulog,pukul 12.30. Kepala Ditserse Polda Metro Jaya Kolonel (Pol) Alex Bambang Riatmodjo mengatakan, Sapuan ditangkap sebagai tersangka pelaku penipuan dan korupsi di Bulog. Kepala Satuan Reserse Ekonomi Mayor (Pol) Tito Karnavian lalu membawa Sapuan ke ruang kerja Kepala Ditserse. Sekitar setengah jam kemudian Sapuan dibawa ke ruang kerja anak buah Tito untuk disidik.

26 Mei 2000:
Sapuan, secara resmi ditahan di Polda Metro Jaya, setelah diperiksa sebagai tersangka. Kaditserse Polda Metro Jaya Kolonel (Pol) Alex Bambang Riatmodjo mengatakan, secara resmi tersangka ditahan dan dikenakan pasal tentang korupsi. Hal itu berdasarkan bukti-bukti dan keterangan sejumlah saksi yang telah diperiksa.

29 Mei 2000:
Tim penasihat hukum tersangka Sapuan menyampaikan permohonan agar klien yang dibelanya menjadi tahanan luar Polda Metro Jaya. Salah satu anggota tim pengacara Sapuan, Stefanus Aco SH, mengatakan alasan pengajuan permohonan tahanan luar kepada Kepala Direktorat Reserse Polda Metro Jaya itu adalah soal kesehatan dan keluarga.

7 Juni 2000:
Teti Noersetiyati, istri Suwondo, datang ke Polda Metro Jaya mengembalikan uang Rp 10 miliar.

8 Juni 2000:
Siti Farika datang ke Polda Metro Jaya untuk mengembalikan uang Rp 5 miliar. Ia mengaku menerima uang itu dari Aris Junaidi, Wakil Bendahara GP Ansor. Menurut Farika, ia bersama Aris berniat membuka bisnis ekspor ubin kayu kelapa dan produk kayu olahan. Modal untuk kedua usaha itu ditanggung oleh Aris.

16 Juni 2000:
Mantan Pjs Sekretaris Negara Bondan Gunawan berpendapat bahwa kunci kasus Bulog adalah Suwondo dan mantan Wakabulog Sapuan. Hal itu disampaikan pada saat bertemu dengan Tim Klarifikasi FKB yang dihadiri antara lain oleh Ketua FKB Taufiqurohman dan Sekretaris Fraksi Choliq Achmad.

9 Agustus 2000:
Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta melimpahkan berkas kasus penggelapan dana Yayasan Kesejahteraan Karyawan (Yanatera) Badan Urusan Logistik (Bulog) dengan terdakwa mantan Wakil Kepala Bulog Sapuan ke Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan (Jaksel).

Selanjutnya, PN Jaksel menetapkan jadwal sidang pertama kasus ini pada Selasa, 15 Agustus 2000. Sidang ini diketuai Lalu Mariyun didampingi F. Zendranto dan Rusman Dani Achmad. Sebagai panitera pengganti adalah H Baidowi, Sutrisno, dan Ricar Nasution.

Berkas kasus Sapuan masuk ke PN Jaksel diterima oleh Panitera Muda Pidana M Yusuf, Senin (14/8) dengan nomor register 837/Pid/B/2000/PN JS. Dengan pelimpahan berkas itu, pihak PN Jaksel memperpanjang masa tahanan Sapuan di Lembaga Pemasyarakatan Cipinang selama 30 hari. Perpanjangan ini terhitung sejak berkas dilimpahkan ke pengadilan.

Dalam surat dakwaan yang ditandatangani jaksa penuntut umum (JPU) Nulis Sembiring disebutkan bahwa Sapuan telah melakukan tindak pidana penggelapan dana Yanatera yang merugikan negara Rp 35 miliar. Selain itu, Sapuan juga didakwa membujuk saksi Ir H Mulyono MBA dan M Yakub Ishak (keduanya pengurus Yanatera) untuk menyerahkan dana yayasan sebanyak dua kali dengan nilai Rp 10 miliar dan Rp 25 miliar. Untuk itu, Sapuan diancam Pasal 372 jo Pasal 55 ayat (1) ke 2e jo Pasal 64 ayat 1 KUHP (dakwaan primer), serta Pasal 372 jo Pasal 55 ayat (1) ke 2e Pasal 64 ayat (1) KUHP (dakwaan sekunder).

22 Agustus 2000:
Sapuan menolak dakwaan JPU dengan alasan dakwaan itu tidak benar, tidak cermat, dan terkesan mengada-ada. Sapuan yang menganggap memiliki kekuasaan sebagai pimpinan Bulog dan pimpinan Yanatera telah membuat memo per tanggal 13 Januari 2000 kepada pengurus Yanatera untuk mengeluarkan sejumlah uang. Alasannya untuk membantu kegiatan kemanusiaan di Aceh sesuai dengan permintaan Presiden Wahid.

Namun, ini dibantah JPU yang mengatakan Sapuan tahu bahwa perbuatannya itu tidak sesuai dengan anggaran dasar Yanatera. Sesuai anggaran dasar Yanatera, untuk mengeluarkan dana yang melebihi Rp 500 juta harus mendapat persetujuan tertulis terlebih dulu dari atau akta-akta yang ditandatangani oleh pendiri yayasan. Selain itu, disebutkan bahwa uang yang telah dicairkan tersebut bukan untuk keperluan kemanusiaan, melainkan pribadi. Antara lain, Suwondo yang melarikan diri dan sampai saat ini belum ditemukan.

12 September 2000:
Majelis hakim PN Jaksel menolak keberatan (eksepsi) yang diajukan Sapuan maupun kuasa hukumnya. Selanjutnya, majelis hakim memerintahkan JPU untuk melanjutkan pemeriksaan perkara dan mendengar keterangan saksi. Keberatan Sapuan maupun penasihat hukumnya dinilai tidak tepat dan tidak berlandaskan hukum. Selain itu, dakwaan JPU telah cukup jelas menguraikan perbuatan pidana yang dilakukan terdakwa. “Eksepsi terdakwa dan penasihat hukum ditolak seluruhnya,” demikian putusan sela majelis hakim.

10 Oktober 2000:
Mantan Menperindag Jusuf Kalla yang hadir sebagai saksi pada persidangan Sapuan mengaku baru mengetahui pencairan dana Yanatera sekitar 30 menit sebelum Rizal Ramli menggantikan dirinya sebagai Kabulog. Ia juga menjelaskan, selama menjabat sebagai Kabulog (Oktober 1999-April 2000) tidak ada pencairan dana. Juga tidak ada yang memberitahu dirinya soal itu. Ia hanya ingat Sapuan pada 12 Januari 2000 memberitahu dipanggil Presiden Wahid yang memerlukan dana non bujeter untuk kemanusiaan di Aceh.

Ketika itu, lanjut Kalla, Sapuan menghadap dengan membawa memo. Namun, Kalla menegaskan,”Tanpa perintah tertulis dari Presiden, uang tidak akan dikeluarkan.” Akhirnya, ketika dana itu keluar, Kalla mengaku tidak tahu menahu. Ia juga menegaskan tidak ada hubungan kekeluargaan dengan Sapuan.

Pansus Buloggate dan Bruneigate akan memanggil saksi pada 17 Oktober 2000. Pemanggilan Presiden Wahid dan Sultan Brunei, Hassanal Bolkiah, dikatakan Ketua Pansus Buloggate dan Bruneigate, Bachtiar Chamsyah, akan sangat bergantung pada perkembangan pemeriksaan saksi. Pansus juga mempersiapkan dasar hukum, antara lain, UUD 45 dan perubahannya, TAP MPR No. XI/1998 tentang Penyelanggaraan Negara yang Bebas KKN. Sementara itu, yang akan dipanggil secara institusi adalah Bulog, Bank Indonesia, Polri, Yayasan Yanatera dan BPK.

14 Oktober 2000:
Suwondo ditangkap di vilanya di Desa Tugu, Bogor, pukul 10.00 WIB

28 November 2000:
Mantan Kapolri Jenderal Rusdihardjo memenuhi panggilan Pansus Buloggate. Dalam rapat tertutup, dia membeberkan kronologi penanganan kasus Buloggate semasa menjadi Kapolri. Pengakuan Rusdihardjo kemudian bocor ke pers dan menjadi sensasi baru. Dalam pengakuannya, secara eksplisit, ia mengatakan Gus Dur semetinya sudah tersangka. Ia juga mengatakan, Gus Dur memberi cek senilai Rp 5 miliar yang berasal dari dana Bulog ke Siti Farikha. Selain itu, Rusdihardjo juga membeberkan mengenai berita acara pemeriksaan (BAP) Gus Dur versi ganda.

Disaat yang sama, dihadapan anggota Komisi III DPR-RI, Sapuan mengaku menyalurkan dana taktis yang diminta Presiden Abdurrahman Wahid, lewat Suwondo, yang mengaku sebagai “sekretaris pribadi” Gus Dur. Pengakuan Sapuan bahwa ia melakukan tindakan itu karena ingin membantu Gus Dur menyelesaikan persoalan Aceh. Sapuan meminta Gus Dur untuk membuat Keppres, tp ditolak oleh Gus Dur. Atas desakan Suwondo, akhirnya Sapuan mengeluarkan Rp 35 milyar, yang diambilnya dari dompet Yanatera.


1 Desember 2000:
Gus Dur mengatakan, semua Pansus (termasuk Pansus Buloggate) yang dibentuk oleh DPR ilegal. Sehingga, hasilnya tidak sah. Sebab, semua Pansus itu belum dicantumkan di lembaran berita negara. Selain itu, berdasarkan UUD 1945, tidak ada soal hak angket DPR. Pernyataan ini kontan dibantah Ketua Pansus. Menurut dia, Pansus adalah bentukan rapat paripurna DPR. Sehingga, tidak bisa dikatakan ilegal. Bantahan serupa disampaikan Ketua DPR Akbar Tandjung.

4 Desember 2000:
Siti Farikha dan Aris Djunaedi, dua orang yang menerima kucuran dana Bulog, melalui pengacaranya Indra Sahnun Lubis mengadukan Rusdihardjo ke Mabes Polri. Mereka menuduh Rusdihardjo mencemarkan nama baik mereka. Ini terkait dengan pernyataan Rusdihardjo bahwa Gus Dur memberikan cek sebesar Rp 5 miliar kepada Farikha.

8 Desember 2000:
Setelah mendapat desakan, Pansus Buloggate menyatakan tetap bekerja selama reses DPR. Namun, aktivitas yang dilakukan hanyalah kerja interen. Yakni, menelaah dokumen kesaksian serta menarik kesimpulan sementara. Ketua Pansus menyatakan, seusai reses, Pansus akan kembali memanggil dua saksi kunci: Suwondo dan Gus Dur. Presiden sendiri dijadwalkan dimintai keterangan pada 17 Januari 2001.

11 Desember 2000:
Gus Dur mengaku menggunakan jurus Cattenacio-yang dikenal di kesebelasan Italia pada 1980-an-untuk menangkis serangan Pansus. Hal ini dikemukakan Gus Dur di sela-sela acara buka puasa bersama dengan Indonesian Conference on Religion and Peace. Ia juga mengatakan bahwa sudah sejak 4-5 bulan terakhir, DPR membuat kelompok-kelompok untuk menghakimi dengan tujuan politis.

31 Januari 2001:
Presiden Abdurrahman Wahid membantah terlibat dalam penyelewengan dana Yayasan Bina Sejahtera (Yanatera) Badan Urusan Logistik (Bulog) sebesar Rp 35 milyar dan dana sumbangan dari Sultan Brunei untuk rakyat Aceh. Hal itu sudah disampaikan kepada Panitia Khusus (Pansus) Bulog DPR beberapa waktu lalu.


Februari 2001:
Rapat paripurna DPR menyimpukan Presiden Abdurrahman Wahid melanggar
haluan negara dalam hal pencairan dana Bulog dan penyaluran bantuan dari
Sultan Brunei Darussalam. Sementara itu sidang pertama kasus Bulog, dengan terdakwa Soewondo di PN Jakarta Selatan tertunda, karena Soewondo mengaku sakit.

22 Maret 2001:
Dengan menyatakan banding atas putusan majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, untuk sementara status terdakwa mantan Wakil Kepala Badan Urusan Logistik (Bulog), Sapuan, bebas atau tidak ditahan. Dengan adanya banding berarti putusan pengadilan belum mempunyai kekuatan hukum tetap dan karena itu belum dapat dilaksanakan. Ditambah lagi, saat vonis dijatuhkan, status Sapuan adalah orang bebas setelah pengadilan tidak lagi memperpanjang masa tahanan kota Sapuan yang berakhir tanggal 5 November 2000.

30 Mei 2001:
Rapat paripurna DPR meminta MPR segera menggelar Sidang Istimewa
untuk meminta pertanggung jawaban Presiden Wahid (30/5).

Agustus 2001:
Terdakwa kasus Bulog Soewondo divonis 3,5 tahun penjara oleh Majelis
Hakim PN Jakarta Selatan (6/8).

Kasus Bulog dalam kepemimpinan Widjanarko

Apa yang terpikir dalam benak orang ketika berbicara soal Perum Bulog? Sarang korupsi, kolusi, pundi pundi uang bagi kelompok politik yang berkuasa dan sebagainya? Pikiran tersebut memang wajar-wajar saja, karena faktanya beberapa skandal korupsi lahir dari lembaga pengelola pangan itu.

Di masa lalu, Bulog sering dibuat tidak berdaya oleh permainan penguasa untuk kepentingan ekonomi dan politik mereka. Bulog memang identik dengan lumbung uang. Kewenangannya memonopoli komoditi pangan pokok seperti beras, gula pasir, kedelai, dan tepung terigu membuat uang mengalir begitu deras ke lembaga ini. Bentuknya sebagai LPND yang langsung berada di bawah kekuasaan Presiden membuat akses masyarakat untuk mengontrol lembaga ini nyaris tertutup.

Ketika Soeharto lengser akibat tekanan mahasiswa dan masyarakat, kelompok-kelompok politik baru dan aktor-aktornya pun tergiur untuk menguasai lembaga yang didirikan 30 tahun lalu oleh Ahmad Tirtosudiro tersebut. Kemampuan Bulog mengumpulkan dana besar menggodai partai politik untuk menjadikannya salah satu sumber dana guna memperlancar aktivitas politik mereka.

Ini menjadi tantangan bagi Direktur Utama Perum Bulog, Widjanarko Puspoyo, untuk mengubah image buruk Bulog menjadi lembaga yang bersih dan transparan dan mampu berkompetisi di pasar internasional.

Perubahan status Bulog menjadi Perum diharapkan akan membawa lembaga ini lebih profesional. Manajemen dilakukan secara terbuka dan menghilangkan budaya birokrat.

Widjanarko Puspoyo mengakui citra buruk Bulog dengan statusnya yang lama. Sebagai pejabat direktur utama pertama Bulog pasca perubahan status menjadi Perum, Widjanarko menjamin bahwa Bulog sekarang berbeda dengan Bulog yang dulu. Bulog kini sudah menjalankan manajamen modern. “Bulog dulu terkenal single fighter, manajemen tertutup, tidak tersentuh aparat, semua ditentukan pusat, menikmati banyak fasilitas, sumber KKN dan korupsi,” katanya.

Menurut Widjanarko, sekarang pengelolaan manajemen Bulog transparan. Ada akuntan publik yang siap mengaudit keuangan. Intinya,ditegaskan Bulog tidak lagi akan dicemari oleh bentuk-bentuk korupsi di masa lalu. Bulog ke depan akan lebih mengemuka dibandingkan Bulog versi lama.

Jaminan yang diutarakan mantan anggota DPR ini, tidak lepas dari tuntutan akan kompetisi yang semakin ketat. Dengan status sebagai Perum, Bulog memiliki peluang melakukan kegiatan bisnis kendati masih tetap sebagai penyangga harga dasar gabah dan stok beras nasional dan menyalurkan beras untuk orang miskin (raskin). Bisnis adalah keharusan bagi Bulog karena tidak lagi mendapat alokasi dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara

Ketika memimpin Bulog, ia ingin berbenah dan mengembangkan model bisnis baru. Ia ingin menghapus calo-calo birokrasi yang selama ini menjadi benalu, mengubah mekanisme organisasi dan menyinergikan program bisnis. Serta mengubahnya menjadi Perum, ia mem-persiapkan generasi baru di Bulog yang lebih bervisi. Tetapi sayangnya dia malah tersandung korupsi.

Kasus impor beras dari Vietnam

Widjanarko diduga juga menerima hadiah (gratifikasi) dari Vietnam Southern Food Corporation dalam impor beras 2001-2002. Vietnam Food adalah rekanan Bulog.

Vietnam Food diduga telah mengirimkan uang sebesar $ 1,5 juta ke PT Tugu Dana Utama. PT Tugu kemudian mengirimkan $ 1,2 juta ke PT Arden Bridge Investment dimana Widjokongko Puspoyo-adik kandung Widjanarko menjabat sebagai direktur investasi. Dari PT Arden ini, uang mengalir ke Widjanarko, Endang Ernawati-istri Widjanarko, Winda Nindyati-putri Widjanarko, dan Rinaldy Puspoyo-putra Widjanarko.

Dakwaan jaksa, Widjokongko melakukan korupsi dengan membantu penerimaan uang oleh Widjanarko Puspoyo dalam pengadaan beras impor dari Vietnam. Majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada 1 Februari 2008 menghukum Widjokongko empat tahun penjara dan denda Rp 7,5 miliar subsider enam bulan penjara. Dalam putusannya, majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menyatakan, Widjokongko terbukti menggunakan rekening PT Arden Bridge Investment Limited di Bank Bukopin untuk menerima uang dari Steven dan Laksmi Karmahadi yang dikirim dari Bank HSBC Hongkong.

Dalam Keputusan majelis hakim membeberkan bukti bahwa Widjan menerima gratifikasi terkait dengan impor beras dari Vietnam. Gratifikasi senilai USD 1,6 juta itu dikirim melalui empat kali transfer dari Cheong Karm Chuen alias Steven sebagai perantara (Broker) warga negara Singapura. Uang itu dikirim dari HSBC Hongkong ke rekening ABIL (Ardent Bridge Investment Limited, perusahaan milik adik Widjan, Widjokongko Puspoyo). Selanjutnya, uang mengalir ke rekening terdakwa (Widjan) di Bukopin.

Kasus ekspor beras ke Afrika

Sedang Kasus ekspor beras ke Afrika pada tahun 2004 ini bermula saat Widjanarko selaku Kepala Bulog saat itu melakukan ekspor beras sebesar 50 ribu metrik ton dengan pembeli Ascot Commodity

yang berkedudukan di Genewa Swiss. Beras sebanyak 50 ribu ton tersebut untuk diekspor ke Afrika. Padahal pada saat yang bersamaan Indonesia juga melakukan impor beras dari Vietnam.

Kerugian negara masih dihitung oleh Badan Pengawas Keuangan Pembangunan (BPKP). Indikasi pelanggaran sehingga menyebabkan kerugian negara karena harga yang dijual ke luar negeri dibawah dari harga yang dijual di dalam negeri sehingga menimbulkan kerugian negara.

Menurut majelis, kebijakan ekspor ke Afrika menyalahi prosedur. Sebab, kebijakan tersebut tidak tercantum dalam pelaksanaan rencana kerja dan anggaran perusahaan (RKAP) serta skema pendanaan Bulog pada 2004. Beras yang diekspor seharusnya disalurkan ke (pasar) dalam negeri. Kalaupun diekspor, Bulog harus memuat dalam rencana kerja dan anggaran perusahaan, ungkapnya. Majelis juga membeberkan patgulipat yang merugikan negara Rp 78,3 miliar atas ekspor tersebut. Sebanyak 51 ribu metriks ton beras atau 51 juta kilogram itu, kata Artha, dijual seharga USD 202 per metriks ton atau Rp 1.818 per kilogram. Harga itu jauh di bawah harga pokok penjualan yang ditetapkan pemerintah, yakni Rp 3.343 per kilogram, jelas hakim perempuan tersebut.

Kasus impor fiktif sapi

Kasus impor fiktif terjadi Pada 2001, Bulog melakukan pengadaan 22 ribu ekor sapi potong dari Australia. Bulog lalu menggaet tiga perusahaan swasta sebagai rekanan yaitu PT Karyana, PT Lintas Nusa Pratama (LNP) dan Surya Bumi Manunggal (SBM). Dari ketiga rekanan tersebut hanya PT. Karyana yang menuntaskan kontrak mereka tanda tangani. Bulog telah membayarkan uang sebesar Rp 5,7 miliar kepada PT LNP untuk pengadaan 1150 ekor sapi.

Sementara untuk PT SBM, Bulog telah mengucurkan dana Rp 4,9 miliar untuk 1000 ekor sapi. Namun kedua perusahaan tersebut tidak pernah memenuhi kontrak tersebut dan sapi tersebut tidak pernah datang sehingga diperkirakan merugikan negara sebesar Rp 11 miliar.

Empat Bekas Pejabat Bulog sempat menjadi terdakwa, namum Hakim menilai para terdakwa tidak terbukti melakukan tindakan perbuatan melawan hukum sehingga divonis Bebas. Menurut majelis hakim para terdakwa hanya menjalankan perintah atasannya.

Dalam kasus impor sapi ini, rekanan Bulog yaitu Maulany Ghany Aziz (Direktur PT LNP) telah divonis enam tahun penjara, denda Rp200 juta subsider tiga bulan kurungan dan kewajiban membayar uang pengganti Rp 5,079 miliar. Adapun Moeffreni dan Fahmi (Direktur dan karyawan PT SBM) divonis lima tahun penjara, denda Rp200 juta subsider enam bulan, dan harus membayar uang pengganti Rp 3,3 miliar ditanggung renteng.

Untuk kasus pengadaan sapi, kata Artha, majelis menganggap Widjan tidak bersalah. Alasannya, kebijakan tersebut diambil berdasar usul tim monitoring. Saat itu tidak ada pilihan bagi Bulog selain melakukan pengadaan sapi untuk ketahanan pangan menjelang hari raya, katanya.

Perkara Korupsi Sub Divre XI Bulog Jember

Kasus Bulog Jember itu adalah dugaan korupsi yang dilakukan mantan Kepala Bulog Sub Divisi Regional XI Jember Mucharror. Mucharror diduga terlibat dalam 3 kasus dengan tuduhan pengadaan gabah fiktif, pengadaan alat pengering gabah dan kasus raibnya 8.569 ton beras.

Pengadaan Drying Centre

Kasus ini melibatkan 3 tersangka, yaitu Mucharror (mantan Kepala Sub Divre XI Bulog Jember), Ali Mansyur (karyawan Sub Bulog Jember), dan Gunawan Ng (rekanan Sub Bulog Jember yang juga direktur PT Agung Pratama Lestari, Jember ).

Tersangka Mucharror dan Ali Mansyur ditengarai bukan pelaku utama. Konseptor pembangunan mesin DC I dan II maupun pengadaan gabah fiktif adalah petinggi Bulog di Jakarta, termasuk G, pengusaha rekanan bisnis Bulog.

Widjan disebut-sebut terlibat dalam kasus ini juga, yaitu pengadaan alat pengering gabah senilai Rp 62 miliar. Pengadaan itu tersebar di Jawa Timur, Jawa Tengah, Bali, dan Sulawesi Selatan pada tahun 2004.

Selain Widjanarko, kasus tersebut juga melibatkan Dirut Utama PT Agung Pratama Lestari (APL), Gunawan. Widjan dan Gunawan merupakan para pihak yang menandatangani dalam kontrak

Kasus ini ditangani oleh Kejagung karena locus delicti (tempat terjadinya tindak pindana) pencairan dana pengadaannya dilaksanakan di Jakarta, tepatnya di kantor pusat Bulog. Sedang bank yang mendanai pengadaan alat pengering tersebut adalah Bank Bukopin.

Kasus ini terjadi sekitar tahun 2004. Saat itu, Bukopin mengucurkan kredit kepada sebuah perusahaan swasta, untuk pembelian mesin alat pengering buatan Jepang guna operasionalisasi pusat pengeringan gabah (drying center) di Sub Divre XI Bulog, Jember, Jawa Timur. Namun, lantaran pencairan tersebut menyalahi prosedur (tidak ada jaminan kredit), kredit sebesar Rp 65 miliar macet. Kredit itu diberikan kepada pengusaha di Surabaya, Saudara NG. Ternyata ada 2 masalah prosedur dilanggar sehingga kreditnya pun macet.

Mesin pengering gabah itu dibeli koperasi Bulog Subdivre XI Jember bekerja sama dengan PT Agung Pratama Jember namun dalam perjalanannya ada persoalan. Akhirnya Bulog memberi kompensasi pada PT tersebut untuk memasok gabah 7.200 ton per tahun selama tiga tahun.

Tim penyidik Kejati Jawa Timur telah menetapkan Mucharor (kepala kantor Bulog Jember) dan Gunawan (bos PT Agung Pratama Lestari/APL) sebagai tersangka. Dari hasil penyidikan, Mucharror diduga juga terlibat kasus pengadaan gabah fiktif dan menerima upeti terkait pengadaan alat pengering gabah tersebut. Mucharror menerima komisi dari Gunawan.

Mucharror menjelaskan bahwa pengadaan drying machine atau mesin pengering gabah merupakan kebijakan Perum Bulog pada tahun 2004 yang dilaksanakan tahun 2005 terhadap seluruh Bulog daerah.

Untuk itu, menurut Mucharror, bila tindakan itu dinyatakan salah, seharusnya semua pimpinan Bulog di daerah juga harus ditahan karena juga mengerjakan program tersebut. Hal ini beralasan, sebab ide pembangunan mesin DC dan pengadaan gabah merupakan keputusan Bulog Jakarta yang tidak diketahui Bulog Jatim maupun Bulog Divre XI Jember. Ini berarti, Mukharor dan Ali Mansyur hanya melaksanakan perintah.

Untuk itu, melalui kuasa hukumnya Cholili, SH, pihaknya akan melakukan eksepsi atau keberatan atas surat dakwaan JPU.

Pengadaan Gabah Fiktif

Kasus korupsi Bulog Divre XI Jatim berawal dari pembangunan drying center (DC). DC I yang dibangun PT AP sejak Maret 2004, selesai akhir 2004. DC I mulai beroperasi tahun 2005.

Melengkapi fasilitas pengeringan gabah, dibangun kembali DC serupa (DC II) mulai Agustus 2004 hingga langsung dioperasikan pertengahan 2005. Anehnya, pada tahun 2004 (sebelum mesin dioperasikan) ditemukan kejanggalan dalam pembukuan Bulog Subdivre XI, yaitu adanya pembelian gabah dari DC sebanyak 12.600 ton senilai Rp 21,735 miliar (harga gabah Rp 1.725/kg).

Rinciannya, pada bulan Mei 2004 dibeli 9.600 ton gabah senilai Rp 16,56 miliar dan selanjutnya pada Juli 2004 sebanyak 3.000 ton senilai Rp 5,175 miliar. Ini kan fiktif karena DC belum dioperasikan, tetapi sudah beli gabah.

Dalam pengadaan gabah fiktif ini, tersangka Gunawan selaku Dirut PT Agung Pratama menerima fee dari Bulog Jember sebanyak Rp 90 sampai Rp 100/kg atau total Rp 1,3 miliar.

Tidak pernah ada pembelian gabah karena mesinnya belum jadi . Kalau dalam catatan ada pembelian gabah seolah-olah karena mesin sudah beroperasi, itu hanya akal-akalan para tersangka.

Kasus Raibnya 8.569 ton Beras Milik Bulog Jember

Tim penyidik dari Kepolisian Daerah Jawa Timur menemukan praktek bisnis fiktif yang dilakukan oleh tiga mantan pejabat Bulog Jember dan empat pengusaha. Terkuaknya peran empat pengusaha ini berdasarkan hasil pemeriksaan sementara terhadap tiga mantan pejabat Bulog Jember ini. Dalam kasus ini 8.569 ton beras milik Bulog Jember raib dari gudang.

“Salah satu rekanan itu diduga perusahaan milik Pemerintah Kabupaten Jember,” kata Kepala Unit V Tindak Pidana Tertentu Reserse dan Kriminal Polda Jawa Timur, Komisaris Setyabudi.

Selain menguak empat rekanan, tim penyidik juga menemukan surat-surat palsu yang dibuat mantan Kepala Gudang Pecoro II Prasetyo Waluyo dan Kepala Gudang Mangli Sholichin Shaleh.

Dua pejabat itu diperiksa selama tujuh jam oleh tim penyidik bersama mantan Kepala Seksi Analisa Harga dan Pasar, Ali Mansyur. Dari pemeriksaan inilah ditemukan 20 lembar surat pembelian fiktif beras Bulog Jember.

Empat pengusaha yang menjadi rekanan Bulog Jember antara lain UD Hikmah, UD Pratama Agung, Unit Pembelian Terpadu Pemerintah Kabupaten Jember dan Koperasi Karyawan Bulog. Dalam pelaksanaannya mereka menguasakan pembelian beras kepada Ali Mansyur.

Dengan menggunakan nama keempat rekanan tersebut, beberapa oknum di Gudang Pecoro II dan Gudang Mangli membuat surat timbang dan surat jalan fiktif. Agar lebih meyakinkan, surat-surat itu dimasukkan ke dalam arsip secara administratif dengan istilah “GD 1 M”. “Untuk Gudang Pecoro II yang bertugas membuat surat adalah Muzaqin dan M. Sholeh,” kata Setyabudi.

Menurut Setyabudi, semua rekayasa pembelian fiktif ini mengarah pada satu nama yakni mantan Kepala Bulog Jember Muhammad Mucharror. “Dia sebagai otak di balik aksi ini,” katanya.

31 Januari 2007
Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) akhirnya melayangkan surat ke Polda Jatim terkait dugaan korupsi pengadaan beras di lingkungan Bulog Jember.

Berdasarkan surat BPKP No SR-274/PW13/5/2007 tertanggal 29 Januari 2007, kasus pengadaan beras itu telah merugikan negara Rp 39,058 miliar.
Surat itu dilayangkan ke Kasatpidkor Ditreskrim Polda Jatim AKBP Setija Junianta, Rabu, 31 Januari 2007. “Kami akan segera memanggil lagi tersangka untuk diperiksa dalam minggu ini,” jelas Setija Junianta.

Surat itu memperkuat dugaan korupsi empat tersangka, yakni Kepala Subdivre XI Bulog Jember Mucharor dan tiga anak buahnya (Ali Mansur, Prasetyo Waluyo dan Sholihin Hidayat). Polda juga sudah menyita aset Mucharror berupa dua rumah mewah senilai Rp 3 miliar di Jl Ketintang Surabaya, tanah senilai Rp 7 miliar, dan 3 mobil pribadi.

Kasus dugaan korupsi beras 8.569 ton milik Bulog Subdivisi Regional XI Jember tergolong korupsi terbesar di Indonesia, sebab nilainya melampui praktik korupsi lainnya yang pernah terjadi di Bulog.
Modus korupsi yang dilakukan ini adalah pembelian beras fiktif 8.569 ton, over kuota uji giling gabah, dan dugaan penyelewengan modal kerja.

4 Desember 2007
Mantan Kepala Bulog Sub Divisi Regional XI Jember Mucharor akhirnya dituntut 8 tahun penjara oleh jaksa penuntut umum (JPU) dalam sidang di Pengadilan Negeri (PN) Jember. Sayangnya, dalam pembacaan tuntutan itu, Mucharor tidak terbukti secara primer, namun hanya terbukti secara subsidair sesuai pasal 3 Undang Undang Tindak Pidana Korupsi serta pasal 55 ayat 1 dan pasal 65 ayat 1 KUHP.

Dalam persidangan usai mendengarkan keterangan saksi dan keterangan ahli, Mucharor terbukti telah melakukan penyimpangan dan merugikan keuangan negara senilai Rp24,4 miliar.

Selain itu, dia juga dituntut membayar denda Rp250 juta, subsidair 6 bulan penjara dan mengembalikan kerugian negara senilai Rp24,4 miliar yang ditanggung bersama tiga staf Bulog Jember lainnya yakni Prasetyo Waluyo, Ali Mansyur dan Solikhin Sholeh.

Sejumlah barang bukti yang disita berupa sejumlah tanah serta rumah dan sekitar 250 item dokumen penting juga masih dinyatakan disita untuk negara.

Dalam berkas tuntutannya sebanyak 265 halaman itu, JPU membeber penyimpangan yang dilakukan oleh Mucharor itu yakni pengelolaan dana komersial dari Bulog Jatim sebesar Rp2,3 miliar, pengelolaan dana pengadaan gabah fiktif sebesar Rp19,3 miliar, biaya bongkar muat gabah sebesar Rp52,7 juta dan dana pengadaan gabah melalui mesin drying center sebesar Rp2,7 miliar.

“Total kerugian negara akibat perbuatan Mucharror dan stafnya yang kini juga menjadi terdakwa yakni Rp 24,4 miliar. Perbuatan mereka kami anggap mengganggu stabilitas pangan di Jember,” kata salah seorang JPU, Samsuki.

Atas vonis itu, Mucharor dkk mengajukan banding ke PT Jatim, kemudian majelis hakim PT Jatim menjatuhkan vonis sama dengan PN Jember, namun pengganti kerugian negara lebih ringan yakni Rp2,9 miliar.

“Mucharor tidak menerima dengan putusan PT Jatim, sehingga melakukan upaya hukum dengan mengajukan kasasi ke MA dan putusannya hari ini dilaksanakan,” katanya menerangkan.

16 Februari 2009
Mahkamah Agung (MA) akhirnya menyampaikan putusan kasasinya terhadap mantan Kepala Perusahaan Umum (Perum) Bulog Sub Divre XI Jember, Mucharor, dengan lima tahun penjara dalam kasus korupsi pengadaan gabah fiktif dan operasional alat pengering gabah fiktif.
Sementara anak buah Mucharor, yakni Ali Mansur dan Prasetyo Waluyo divonis empat tahun penjara.

Kejaksaan Negeri (Kejari) Jember melakukan eksekusi badan atas putusan kasasi MA kepada tiga pejabat Bulog Jember di Lembaga Pemasyarakatan (LP) Jember, Senin 16 Februari 2009.

Kepala seksi pidana khusus (Kasi pidsus) Kejari Jember, Basyar Rifa’i, menuturkan, pihaknya sudah melaksanakan eksekusi badan atas putusan kasasi MA terhadap tiga pejabat Bulog Jember.

“Eksekusi kasasi MA sudah dilaksanakan dan berjalan lancar. Tervonis diberi waktu satu bulan untuk menanggapi kasasi tersebut,” katanya.

Menurut dia, ketiga pejabat Bulog divonis bersalah dan meyakinkan telah melakukan tindak pidana pasal 2 primer Undang-undang Tentang Tindak Pidana Korupsi juncto pasal 55 ayat 1 dan pasal 65 ayat 1 KUHP.

EVALUASI

Identifikasi main stakeholders

Masyarakat Indonesia

Tindakan korupsi telah merugikan negara dan pada akhirnya memberikan dampak pada masyarakat

Pemerintah

Pemerintah berkepentingan untuk melindungi kesejahteraan rakyatnya dan menegakan hukum.

Bulog

Pihak yang melakukan tindak korupsi (Tommy Soeharto, Widjanarko, dst)

Analisa atas keputusan yang diambil dengan menggunakan Moral Standards Approach for Ethical Decision Making (EDM), yaitu:

Utilitarian

Keputusan yang diambil untuk melakukan tindakan tersebut lebih menghasilkan biaya dari pada keuntungan dimana misalnya masyarakat Indonesia dirugikan sementara pihak yang diuntungkan dalam kasus tersebut hanya segelintir orang (Keputusan yang diambil tidak menghasilkan net good untuk semua stakeholders)

Keadilan

Keputusan yang diambil untuk melakukan tindakan tersebut tidak memberikan keadilan bagi pihak-pihak yang dirugikan

Hak Individu

Keputusan yang diambil unutk melakukan tindakan tersebut telah mengorbankan hak-hak dari stakeholders lainnya seperti misalnya hak dari Hakim Agung untuk menjalankan tugasnya sesuai dengan hukum yang berlaku di Indonesia

Berdasarkan kasus-kasus di atas dapat disimpulkan bahwa berbagai tindakan korupsi yang dilakukan oleh pihak-pihak dalam Bulog tidak sesuai dengan nilai-nilai dasar Perum Bulog yaitu

1. KUALITAS

Perusahaan dengan seluruh jajaran manajemen dan pegawai sepakat untuk berorientasi pada kualitas produk dan pelayanan pada rakyat (konsumen) sesuai dengan visi dan misi.

2. INTEGRITAS

Keutuhan pribadi, manajemen dan organisasi yang mencerminkan konsistensi antara prinsip dengan perilaku.

3. TEAM WORK

Seluruh unit kerja dan karyawan bergerak fokus dan total secara terintegrasi dalam rangka pencapaian visi dan misi perusahaan.

4. INOVATIF

Kemampuan untuk berfikir dan mengembangkan nilai-nilai kreatifitas dan inovasi dalam bekerja.

5. RESPONSIF

Kemampuan perusahaan untuk mengambil keputusan dan melakukan upaya-upaya preventif maupun kuratif dalam menghadapi setiap perubahan lingkungan strategis. Pada tingkat invidivu, nilai ini direfleksikan oleh sikap awareness yang tinggi terhadap setiap kebijakan perusahaan.


Pertanyaan

Dari sekian banyak kasus yang terjadi di bulog, terlihat bahwa kesempatan untuk melakukan korupsi sangat besar, Mengapa? Adakah solusi untuk mengatasinya?


Kesimpulan

Kekuasaan Orde Baru yang berlangsung selama 32 tahun, telah menimbulkan budaya gelap di dalam masyarakat Indonesia: Kolusi, Korupsi dan Nepotisme (KKN). Begitu mendalamnya budaya tersebut telah mendarah-daging di kalangan para pejabat dari tingkat atas sampai ke bawah, nyaris semua tindakan KKN telah dianggap suatu hal yang lumrah, tanpa konsekwensi apa-apa. Tidak mengherankan banyak tindak pidana korupsi di beberapa kementerian semuanya berakhir lolos secara mulus berkat perlindungan presiden Soeharto. Tindak korupsi dikategorikan sebagai kesalahan administrasi, yang setelah uang hasil korupsi dikembalikan, semua pekara dianggap selesai.

Dana Non-Bujeter Bulog pada jaman Orde Baru telah menjadi sumber perampokan penguasa terhadap kekayaan rakyat. Dana tersebut dianggapnya sebagai angin segar bagi para pejabat pemerintah. Pada jaman reformasi dewasa ini di mana transparansi berjalan relatif baik, bisa diharapkan satu demi satu terkuaklah para penjahat-penjahat KKN. Rakyat yang sudah tidak bisa dibodohi lagi tentu akan terus mengadakan monitoring dengan jeli terhadap para pejabat, tidak pandang apakah dia menteri, ketua DPR, ketua MPR dan lain-lainnya. Selihai-lihainya maling menyelinap, akhirnya tentu akan terungkap dan tertangkap.

Kasus korupsi yang banyak terjadi di dalam bulog baik tingkat pusat maupun tingkat daerah, membuat banyak kita semua berpikir bagaimana cara untuk mengurangi gejala korupsi di dalam lingkungan bulog ini.

Ada beberapa saran yang mungkin bisa dilakukan untuk mengurangi korupsi di dalam lingkungan bulog:

1. salah satunya dengan melakukan reorganisasi pada struktur organisasi bulog misalnya seperti yang pernah dilakukan pada kantor Direktorat Jendral Pajak, dimana reorganisasi dilakukan secara bertahap, misalnya pada level terbawah dulu dengan penggantian staf – staf pada level bawah, lalu diikuti oleh level berikutnya. Dan kemudian me-revisi semua system dan prosedur yang diperlukan dengan meningkatkan control sehingga menghasilkan organisasi yang lebih banyak manfaatnya daripada kejahatan di dalamnya.

2. Perlunya merevisi diri kita masing-masing dengan mengganti budaya yang sudah membumi di Negara kita ini. Jika setiap orang di Indonesia dapat berkembang dan terdidik sebagai pribadi yang memiliki etika yang baik maka budaya korupsi yang sudah mengakar dalam pemerintahan Indonesia dapat di berantas sedikit demi sedikit. Sehingga Bangsa kita bisa menjadi bangsa yang pintar dan bermartabat.

3. Perlu dilakukan audit fraud risk management pada organisasi bulog bagi untuk yang bersifat keuangan dan non keuangan agar dapat menjaga dan mengawasi kinerja bulog. Diharapkan dengan adanya kontrol dalam bulog bisa mengatur bulog untuk menjalankan tugasnya sebagaimana mestinya.

Read More..

124 Juta Penduduk Indonesia Belum Miliki Jaminan Kesehatan

Labels: Consumerism, Economic, Health, Insurance, Medicine, Public Services
Senin, 09/11/2009 15:55 WIB

Vera Farah Bararah - detikHealth

Jakarta, Lebih dari setengah penduduk Indonesia atau kurang lebih 124 juta penduduk Indonesia masih belum memiliki jaminan kesehatan. Dibutuhkan reformasi kesehatan melalui asuransi untuk bisa menjangkau semua lapisan masyarakat.

Status kesehatan masyarakat di Indonesia saat ini masih termasuk rendah dibandingkan dengan negara-negara di Asia lain seperti Thailand, Malaysia, Singapura atau Korea Selatan. Ini dibuktikan dari banyaknya keluarga berpenghasilan kecil yang menderita karena masalah kesehatan.

Dibutuhkan sistem kesehatan yang bisa menjangkau semua lapisan masyarakat, sehingga pelayanan kesehatan dasar masyarakat dapat terpenuhi. Saat ini anggaran kesehatan dari pemerintah hanya sekitar 2 persen dari anggaran belanja negara, jumlah ini lebih rendah dibandingkan dengan negara lain seperti Cina 4,7 persen, Malaysia 4,2 persen atau Vietnam sebesar 6 persen.

"Untuk bisa menentukan apa yang harus dilakukan, maka dilihat terlebih dahulu bagaimana kondisi awal masyarakat agar nantinya apa yang dilakukan bisa mencapai tujuan," ujar Prof. Djisman Simanjuntak dari CSIS, dalam acara Diskusi CSIS mengenai Roadmap Reformasi Sektor Kesehatan Indonesia 2009-2014, di Hotel Sultan, Jakarta, Senin (9/11/2009).

Djisman menambahkan untuk mengetahui bagaimana kondisi kesehatan dari masyarakat harus dilihat dari segi input dan outcome-nya. Input ini dilihat dari berapa besar biaya yang dikeluarkan oleh pemerintah, sedangkan outcome-nya dilihat dari sehat atau tidak masyarakatnya. Indikator kesehatan lain yang bisa dilihat adalah dari nilai indeks massa tubuh masyarakatnya, apakah sudah memenuhi standar atau belum.

Salah satu perubahan kebijakan dalam bidang kesehatan yang ingin diusulkan CSIS kepada pemerintah adalah mengubah kebijakan pendanaan kesehatan berdasarkan prinsip asuransi sebagai pelayanan kesehatan. Bagi penduduk miskin preminya akan dibayar oleh pemerintah dengan mengkonversi beberapa jenis bantuan tunai dan subsidi barang menjadi bantuan kesehatan.

Untuk itu diharapkan pelaksanaan terhadap UU Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) perlu dipercepat sebagai sinyal keseriusan pemerintah dalam mengefisiensikan biaya pemeliharaan kesehatan. Padahal UU SJNS ini sudah disahkan pada tanggal 19 Oktober 2004 lalu, tapi sampai sat ini pelaksanaan UU tersebut belum memberikan hasil seperti yang diinginkan.

Asuransi yang diharapkan ini harus sesuai dengan prinsip asuransi sosial, dimana perusahaan asuransi tersebut tidak boleh mengambil untung (nirlaba). Dan pendanaannya melalui pembayaran premi oleh pekerja, pemberi kerja, pemerintah pusat dan pemerintah daerah.

Asuransi ini bukan seperti jamkesmas. "Jamkesmas itu bukan asuransi tapi bantuan sosial dan seharusnya tidak dikelola oleh suatu departemen, dimana mereka ikut mengawasi juga," ujar mantak ketua IDI Dr. Kartono Mohammad.

Diharapkan dengan adanya asuransi ini, maka distribusi pelayanan kesehatan dan pengobatan akan berjalan lebih baik. Masyarakat akan lebih mudah untuk mendapatkan akses pelayanan kesehatan yang berkualitas dan terjangkau serta bisa mewujudkan kehidupan yang lebih sehat. Read More..